Pages

Senin, 16 Juni 2014

gerbong bisnis

Gerbong kereta mulai bergerak menjauhi stasiun, saat penumpang di sebelahku menyapa. Menanyakan perihal tujuan dan alasan ku pergi menuju tempat itu. Seorang laki-laki 25 tahunan. Telah lulus dari salah satu politeknik di kota Bandung pada tahun 2010. Dia pergi ke Bandung untuk mengunjungi teman satu kampusnya dulu. Kini dia menetap di kota Surabaya. Sekedar basa-basi pada awalnya, tapi selanjutnya aku merasa tidak lagi sendirian di gerbong kelas bisnis ini. Sesekali aku bertanya tujuan wisata yang layak dikunjungi di Jawa Timur. Dia menjawab dengan lugas. Nama pantai yang rencananya aku kunjungi pada liburan ini pun dia tahu.
Setelah malam hari kami sibuk dengan mimpi masing-masing. Memilih tertidur dalam pelukan kursi yang tak senyaman kursi eksekutif. Pandanganku kembali menyapu sekeliling. Beberapa orang bercakap-cakap dengan orang di sebelahnya, di depannya. Bahkan ada yang memutar arah kursi agar bisa saling berhadapan.
Walau masih banyak pula orang yang memilih membatasi dirinya. Menutup diri dari obrolan-obrolan ringan yang baginya tidak penting.
Setidaknya di gerbong ini kutemukan sedikit rasa kemanusiaan. Sedikit rasa saling ketergantungan antara satu sama lain sebagai sosok manusia. Sedikit rasa saling mengisi kekosongan yang dimiliki masing-masing individu. Walau beberapa orang memilih untuk tetap mengosongkan bagian itu.
Di seberang kursiku kudapati empat orang yang kelihatannya berasal dari kampus yang sama, tapi jurusan yang berbeda. Saling bercengkerama seolah mereka telah kenal lama. Padahal aku tahu, mereka baru bertemu saat takdir menyebutkan kursi mereka bersebelahan.

Di tengah malam aku terbangun, mendengar suara seorang ibu yang sedang bercerita pada penumpang di sebelahnya. Ibu ini bercerita ditengah hening malam, saat semua penumpang tertidur. Kulihat dari barisan depan seorang ibu setengah baya melongokkan kepala kebelakang, mencari sumber suara yang menggangu lelap tidurnya. Kemudian dia duduk lagi, mungkin kode yang dia berikan bahwa dia terganggu sudah cukup. Kemudian ibu yang tadi bercerita mulai melirihkan suaranya. Entahlah, aku tidak tahu alasan ibu itu bercerita di tengah malam. Mungkin dia memiliki alasan di balik itu, mungkin. Hanya dia yang tahu.