ITB-KU, ITB-MU, SUDAH BERBEDA
oleh: Andy Ferbson*
Sebenarnya, malas betul saya
berbicara tentang kampus ini.
ITB kembali bernafas, memasung
kejayaan lampau yang telah dihembuskan semenjak dahulu kala, dan –lagi-lagi-
mencoba menopang kebesaran namanya yang telah kedodoran.
Saya bukanlah seorang romantis.
Namun mungkin hanya romantisme yang bisa ditelorkan oleh civitas akademika kita
ini. Hhhh... itu kalau bisa dikatakan menggantikan “student-nasionalism” yang
mulai terkubur di balik gedung-gedung Labtek –dan rumus-rumus para dosen.
Nyaris tak ada lagi mahasiswa yang bertampang kucel dengan rambut panjang dan
badan bau, yang berteriak-teriak soal kebangsatan tentara dan negara di
boulevard Soekarno.
Ah, lebih baik saya melihat dua
faktor utama. Pertama siapakah mahasiswa ITB yang diterima di kampus ini?
Kedua, siapakah yang mengisi tampuk-tampuk pemerintahan di seluruh jabatan
legal kemahasiswaan?
The world has changed, my
friend. Yang ada
sekarang adalah: ITB mulai berprofase secara instan dan pasti. Warna-warni
pakaian para mahasiswi mulai mengisi kampus –dan mengundang syahwat para lelaki
kampus- sehingga sang gondrong pun mencukuri rambut, dan kata-kata berbau
“kiri” kian tergusur dengan aroma parfum Barat dan sepatu Nike. Yang aktivis
kian malas berorasi karena ditonton mahasiswi ’99, dengan alasan: malu, ah!
Harus diakui: para pengisi ITB,
lambat laun, menjadi mereka-mereka yang “kaya” secara materi. SPP terus
membumbung ke langit, maka penjaringan kepada mereka yang miskin pun semakin
ketat. Kampus mulai dipenuhi oleh mereka penganut budaya kota dan MTV, Dan
menggusur para anak petani dan buruh pelabuhan. Yang lebih aneh: untuk
membendungnya, justru isu primordial agama yang diperkuat sana-sini, hingga KM
ITB, sebagai badan legal kampus.
Berani saya katakan: KM ITB
bukanlah keluarga, melainkan sebuah “kelompok mahasiswa” (tertentu), yang
berfungsi sebagai “unit” terlegitimasi yang tumbuh secara paralel, menikam
eksistensi unit dan himpunan di kampus ini beserta sempalan-sempalan lain.
Kadang-kadang kita lupa, yang
terlegitimasi secara konstitusi tidak selamanya memuaskan. Yang memiliki massa terbanyak pun, belum
berarti dia yang paling jago apalagi benar.
Tengoklah negara kita beserta birokratismenya. Ya, seperti itulah KM kita. Mengais-ngais
“kekuasaan” dan "opportunity" secara legal berdasarkan pengatasnamaan suara
mahasiswa. Pemilu (ITB) menjadi tak
berarti, jikalau berada di tangan mereka yang tidak peka dengan para penitip
suaranya... (367 kata)
*Mahasiswa PN-ITB ’96,
Presiden Studi Teater Mahasiswa (Stema ) ITB '99.
(disadur
dari Tabloid Boulevard ITB edisi 39 Tahun VII November 1999)