Pages

#35: opini tentang kampus


ITB-KU, ITB-MU, SUDAH BERBEDA

oleh: Andy Ferbson*

                Sebenarnya, malas betul saya berbicara tentang kampus ini.
               
                ITB kembali bernafas, memasung kejayaan lampau yang telah dihembuskan semenjak dahulu kala, dan –lagi-lagi- mencoba menopang kebesaran namanya yang telah kedodoran.
               
                Saya bukanlah seorang romantis. Namun mungkin hanya romantisme yang bisa ditelorkan oleh civitas akademika kita ini. Hhhh... itu kalau bisa dikatakan menggantikan “student-nasionalism” yang mulai terkubur di balik gedung-gedung Labtek –dan rumus-rumus para dosen. Nyaris tak ada lagi mahasiswa yang bertampang kucel dengan rambut panjang dan badan bau, yang berteriak-teriak soal kebangsatan tentara dan negara di boulevard Soekarno.
               
                Ah, lebih baik saya melihat dua faktor utama. Pertama siapakah mahasiswa ITB yang diterima di kampus ini? Kedua, siapakah yang mengisi tampuk-tampuk pemerintahan di seluruh jabatan legal kemahasiswaan?
               
                The world has changed, my friend. Yang ada sekarang adalah: ITB mulai berprofase secara instan dan pasti. Warna-warni pakaian para mahasiswi mulai mengisi kampus –dan mengundang syahwat para lelaki kampus- sehingga sang gondrong pun mencukuri rambut, dan kata-kata berbau “kiri” kian tergusur dengan aroma parfum Barat dan sepatu Nike. Yang aktivis kian malas berorasi karena ditonton mahasiswi ’99, dengan alasan: malu, ah!
               
                Harus diakui: para pengisi ITB, lambat laun, menjadi mereka-mereka yang “kaya” secara materi. SPP terus membumbung ke langit, maka penjaringan kepada mereka yang miskin pun semakin ketat. Kampus mulai dipenuhi oleh mereka penganut budaya kota dan MTV, Dan menggusur para anak petani dan buruh pelabuhan. Yang lebih aneh: untuk membendungnya, justru isu primordial agama yang diperkuat sana-sini, hingga KM ITB, sebagai badan legal kampus.
               
                Berani saya katakan: KM ITB bukanlah keluarga, melainkan sebuah “kelompok mahasiswa” (tertentu), yang berfungsi sebagai “unit” terlegitimasi yang tumbuh secara paralel, menikam eksistensi unit dan himpunan di kampus ini beserta sempalan-sempalan lain.
               
                Kadang-kadang kita lupa, yang terlegitimasi secara konstitusi tidak selamanya memuaskan.  Yang memiliki massa terbanyak pun, belum berarti dia yang paling jago apalagi benar.  Tengoklah negara kita beserta birokratismenya.  Ya, seperti itulah KM kita. Mengais-ngais “kekuasaan” dan "opportunity" secara legal berdasarkan pengatasnamaan suara mahasiswa.  Pemilu (ITB) menjadi tak berarti, jikalau berada di tangan mereka yang tidak peka dengan para penitip suaranya... (367 kata)


 *Mahasiswa PN-ITB ’96, Presiden Studi Teater Mahasiswa (Stema ) ITB '99.
(disadur dari Tabloid Boulevard ITB edisi 39 Tahun VII November 1999)