Pages

#63: cerita tua





Perih rasanya mendengar lalu tapi tidak melihat, berkata tapi tidak berbuat. Adakalanya hal-hal lebih mudah diucapkan daripada dikerjakan. Orang-orang yang hanya bisa melihat dan berkoar-koar kosong kadang dengan lantang dan ringan dapat mengucapkan. Tapi seorang yang benar-benar berbuat kadangkala tak sanggup bahkan untuk membisikkannya. Memang kedua kondisi ini ada baik dan ada tidak baiknya. Baik dan tidak baik toh ditentukan oleh waktu dan tempat, latar dan suasana, karena kadang kebenaran yang hakiki tidak pernah ada di dalam mahluk.


Berbicara tentang proses sampai-menyampaikan, saya ingin sedikit menyitir sedikit kisah tentang seorang anak muda yang dilahirkan untuk menjadi seorang luar biasa.


Oh mungkin akan terlalu panjang apabila saya memulai kisah ini dari awal sekali, maka biarkan saya memulainya dari seperlima akhir bagian.


Dia sudah berusia 53 tahun ketika itu, penglihatannya mulai tidak tajam lagi. Sebuah kacamata mulai sabar bercengkrama diatas batang hidungnya. Membantu lensa mata memfokuskan bayangan pada sel-sel yang ada pada retina. Namun, kacamata itu bukanlah batasan, bukan pula penghalang. Justru kacamata itu seolah menjadi sebuah jendela. Membuka cakrawala yang bahkan tak dapat dijangkau oleh raga.


Bekal pendidikannya di negara Belanda membawanya kembali pada negeri ini sebagai kaum cendekiawan. Kondisi bangsa kala itu menimbulkan keresahan di hati kecilnya. Keresahan-keresahan ini kemudian diubahnya menjadi sebuah tindakan nyata, sebuah karya nyata, sebuah pergerakan untuk kesejahteraan bangsanya.



Ia sadar bahwa dirinya saat itu berada di tanah penjajah negerinya. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya dalam merealisasikan pergerakan demi bangsanya. Mula-mula dengan membentuk sebuah perhimpunan, memang tidak banyak anggotanya, perlahan tapi pasti gaungnya mulai terdengar. Berbekal perangkat radio yang merupakan teknologi komunikasi paling canggih saat itu, siaran-siaran tentang pergerakannya mulai bergaung.. 

(bersambung)