Perih rasanya mendengar lalu tapi tidak melihat, berkata
tapi tidak berbuat. Adakalanya hal-hal lebih mudah diucapkan daripada
dikerjakan. Orang-orang yang hanya bisa melihat dan berkoar-koar kosong kadang
dengan lantang dan ringan dapat mengucapkan. Tapi seorang yang benar-benar
berbuat kadangkala tak sanggup bahkan untuk membisikkannya. Memang kedua
kondisi ini ada baik dan ada tidak baiknya. Baik dan tidak baik toh ditentukan
oleh waktu dan tempat, latar dan suasana, karena kadang kebenaran yang hakiki
tidak pernah ada di dalam mahluk.
Berbicara tentang proses sampai-menyampaikan, saya ingin
sedikit menyitir sedikit kisah tentang seorang anak muda yang dilahirkan untuk
menjadi seorang luar biasa.
Oh mungkin akan terlalu panjang apabila saya memulai kisah
ini dari awal sekali, maka biarkan saya memulainya dari seperlima akhir bagian.
Dia sudah berusia 53 tahun ketika itu, penglihatannya mulai
tidak tajam lagi. Sebuah kacamata mulai sabar bercengkrama diatas batang
hidungnya. Membantu lensa mata memfokuskan bayangan pada sel-sel yang ada pada
retina. Namun, kacamata itu bukanlah batasan, bukan pula penghalang. Justru kacamata
itu seolah menjadi sebuah jendela. Membuka cakrawala yang bahkan tak dapat
dijangkau oleh raga.
Bekal pendidikannya di negara Belanda membawanya kembali
pada negeri ini sebagai kaum cendekiawan. Kondisi bangsa kala itu menimbulkan
keresahan di hati kecilnya. Keresahan-keresahan ini kemudian diubahnya menjadi
sebuah tindakan nyata, sebuah karya nyata, sebuah pergerakan untuk
kesejahteraan bangsanya.
Ia sadar bahwa dirinya saat itu berada di tanah penjajah
negerinya. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya dalam merealisasikan
pergerakan demi bangsanya. Mula-mula dengan membentuk sebuah perhimpunan,
memang tidak banyak anggotanya, perlahan tapi pasti gaungnya mulai terdengar. Berbekal
perangkat radio yang merupakan teknologi komunikasi paling canggih saat itu,
siaran-siaran tentang pergerakannya mulai bergaung..
(bersambung)