Anti- menjadi sebuah kata imbuhan yang menolak eksistensi
keberadaan makna dari kata yang diimbuhinya.
Anti berarti ketidaksetujuan. Anti
berarti keengganan untuk menerima.
Anti- telah mampu menciptakan beberapa kata majemuk semu
yang artinya selalu beroposisi dari
makna tunggalnya sebelum bergabung dengan
kata anti-
Beberapa contoh dari penggunaan sifat kata anti diantaranya;
antirasisme; yang berarti penolakan dan ketidaksetujuan atas fenomena rasisme,
antihama; yang berarti bebas dari hama, dan banyak anti-anti lainnya yang
menjadi antitesis dari kalimat yang diimbuhinya.
Saya kemudian mendapati diri ini tergelitik dengan sebuah
kata majemuk maya yang berhasil dibentuk oleh kata anti dan korupsi, ya antikorupsi.
Sebuah bentuk ketidaksetujuan, penolakan, keengganan
melakukan, dan rasa (mungkin) jijik melihat fenomena korupsi yang terjadi.
Lalu, apakah segala macam rasa yang muncul sebagai bentuk
anti dari sikap atau budaya korupsi ini akan menghasilkan suatu tindakan yang
nyata, tindakan yang benar-benar menyentuh, merusak, dan membumihanguskan
budaya ini?
Saya kadang suka terjebak dalam skeptisme dalam memandang
segala macam bentuk pergerakan.
Mungkin hal ini karena saya belum benar-benar
menemukan bagaimana bentuk pergerakan yang efektif, dalam membawa cita-cita
tentang antikorupsi ini.
Jika mau melihat sekeliling, banyak sekali macam dan bentuk
aksi sebagai manifestasi dari semangat antikorupsi ini. Para desainer berkarya
melalui poster-poster, para komikus melalui komik-komiknya, mahasiswa melalui
orasi-orasinya, dan banyak pihak lain yang berusaha memaknai semangat
antikorupsi ini dengan caranya masing-masing.
Forum-forum diskusi, longmarch di jalan-jalan, mengepung
gedung dewan, pemblokiran jalan, dan lain-lain yang serupa sebagai sarana
menggiatkan semangat antikorupsi.
Lalu kemudian saya bertanya, siapa sebenarnya yang menjadi
objek dari beragam aksi antikorupsi ini? Apakah anggota dewan yang terhormat? Apakah
bapak presiden? Apakah para kepala daerah?
Apakah para pemilik perusahaan? Apakah para pegawai pemerintahan?
Apakah hanya mereka yang melakukan korupsi, atau dicurigai
melakukan korupsi?
Apakah kita semua bersih disini?
Apakah kita kelak tidak akan menjadi bagian dari mereka?
Apakah kita bisa berteriak antikorupsi sekarang, namun
ketika sampai pada masanya kita malah akan menjadi orang yang diteriaki agar tidak korupsi?
Entahlah, ini benar atau salah, tapi saya ingin mengajukan
jawaban. Atau paling tidak usulan. Usulan objek baru sebagai sasaran aksi
antikorupsi. Objek baru beragam gelombang gerakan agar tidak salah sasaran.
Lalu siapa yang paling pantas menjadi objek aksi ini?
Yang paling patut menjadi objek aksi ini menurut saya adalah
kita sendiri.
Diri kita, yang saat ini sedang semangat-semangatnya
memperhatikan negara (meski mungkin hanya dengan cara mencela)
Kita yang saat ini katanya digadang-gadangkan sebagai
penerus bangsa (meski entah nasibnya akan sama saja atau berbeda),
Diri kita, yang katanya adalah pembawa masa depan bangsa
(entah masa depan baik atau buruk),
Diri kitalah yang paling patut menjadi objek dari semangat
ini.
Menjadi sasaran dari aksi-aksi antikorupsi, memoles sebaik
mungkin benih-benih penerus bangsa dengan semangat antikorupsi, menyiapkan
mental-mental pembawa masa depan yang terbebas dari KKN.
Bukankah meluruskan batang yang bengkok ketika masih muda lebih mudah daripada meluruskan batang yang sudah tua?
Bukan berarti disini saya setuju bahwa sasaran aksi
antikorupsi yang sekarang tidak perlu dan harus disudahi.
Mereka (para stakeholder negara ini)
sangat perlu diingatkan bahwa budaya korupsi adalah budaya yang salah, budaya
yang menyengsarakan banyak orang, budaya yang tidak perlu diamalkan, dan
budaya yang tidak perlu diwariskan.
Mereka tetap perlu menjadi bagian dari objek gerakan ini,
agar mereka selalu ingat bahwa kita disini mengawasi mereka.
Sambil perlahan mengalihkan porsi sasaran gerakan kepada
diri kita sendiri. Sebagai langkah menyongsong Indonesia yang benar-benar antikorupsi baik dalam perkataan, maupun dalam perbuatan.
Anas Zakaria
Anas Zakaria