Kehidupan student Government di ITB telah sekian lama, menjadi impian dan kemudian dicontoh oleh universitas-universitas dan perguruan-perguruan tinggi lainnya. Sistem ‘trias politika’ meskipun tidak komplit dengan kepeloporan ITB berangsur-angsur menjadi patron kehidupan student governement di Indonesia. –Soegeng Sarjadi (dikutip dari buku Drama Politik Tanpa Skrip)
Sedikit uraian di atas begitu menyentak hati saya. Bagaimana
pergerakan kemahasiswaan kampus yang luasnya tidak sampai puluhan hektar ini
ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar di Indonesia. Dulu, ketika negara
ini masih memasuki masa-masa remaja, mahasiswa-mahasiswa kampus ini tampil
sebagai mahasiswa yang peduli pada bangsa dan negara. Mempelopori bentuk
lembaga mahasiswa, yang bahkan sampai sekarang masih digunakan di beberapa
kampus, menyuarakan rintihan rakyat, mengawasi kinerja pemerintahan, dan banyak
teladan yang rasanya sulit diulangi di zaman sekarang.
Hegemoni kemahasiswaan ITB seolah makin menjauh dari kondisi
awal ketika kampus ini resmi bernama ITB. Makin kesini makin hilang peran
mahasiswa ITB dalam pergerakan kemahasiswaan di Indonesia. Sibuk dengan carut
marut di internalnya kata sebagian orang.
Lalu, akankah bisa kita kembali pada kondisi seperti dulu.
Zaman ketika mahasiswa ITB bergerak maka pemerintah akan
was-was dan segera mengambil tindakan.
Zaman ketika bahkan pemerintah harus menurunkan tiga
batalion pasukan tempur dengan senjata laras panjang untuk sekedar menjaga agar
mahasiswa ITB tidak lagi vokal mengkritik pemerintah.
Zaman ketika seluruh kegiatan di Kampus Ganesha harus
dibekukan karena pemerintah takut akan apa yang bisa diperbuat mahasiswa ketika
itu.
Zaman ketika bergerombol lebih dari lima orang dilarang.
Bisakah? Hanya aku, kamu, dan kita yang bisa menjawabnya.