Sebenarnya banyak sekali kisah yang ingin aku ceritakan
kepadamu malam ini. Beragam kisah dengan tema remeh temeh seperti mengapa
sekedar meluncur dari tahura begitu menyenangkan. Atau kisah tentang koleksi
kartu pos milikku yang tak kunjung bertambah dalam tiga bulan ini. Tapi,
rupa-rupanya ada tema besar yang mengganggu tidurku dari beberapa malam yang
lalu. Bukan tema besar sebenarnya, hanya tema yang terlalu dibesar-besarkan
lebih tepatnya.
Jadi sekarang, disini, aku ingin bercerita tentang tema
besar itu. Tapi, seperti biasa, aku akan menceritakan hal lain tentang itu dan
memindahkan fokus ceritaku sampai kalian tidak sadar sedang dibodohi oleh
untaian kata yang kubuat.
Cerita itu dimulai di sini.
Suatu hari di sebuah ruang kelas. Beberapa orang, lebih
tepatnya siswa sedang duduk bergerombol. Lima orang mereka berkumpul, termasuk
aku di dalamnya. Lalu salah satunya mulai berkisah, sisanya mendengarkan. Dengan
seksama mereka tenggelam dalam permainan kata si pencerita. Menikmati setiap
adegan cerita yang dibawa. Naik turun tempo seiring naik turun alur cerita. Sedang
asik bergelut dengan cerita, tiba-tiba datang orang keenam. Dengan gelagat yang
menunjukkan emosi yang sedang meninggi dia menarik kerah salah satu dari
gerombolan itu, mengeluarkan beberapa kata kasar, dengan ditambah sumpah
serapah tentunya. Menghakimi orang yang sedang kebingungan ditarik kerahnya
atas tuduhan yang sebenarnya aku tidak tahu akar permasalahannya. Dengan ditutup
dengan ancaman, dia pergi meninggalkan gerombolan itu.
Gerombolan itu tertegun sejenak, kebingungan, si pencerita
menghentikan ceritanya, semua mata tertuju pada teman kami yang kerahnya
dipermainkan bak yoyo, naik turun seiring naik turun nada suara si orang ke
enam. Setelah rasa kaget kami agak mereda, kita mulai membahas peristiwa yang
baru saja terjadi.
Tentang siapa orang ke enam, tentang apa yang dikatakannya,
tentang tuduhan-tuduhan terhadap teman kami, lalu kami pusing sendiri. Ah pegel
ah nulis pake bahasa baku.
Oke lanjut, jadi setelah kita hening sejenak dan mulai
berani bersuara kami membahas perihal peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah
saling bertukar pikiran, dan beberapa suapan makanan ringan, kami sampai pada
suatu kesimpulan, kita tidak mendapat kesimpulan.
Haha, aneh emang, mungkin dia lagi PMS, nyamperin orang main
narik-narik kerah seenak jidat. Karena apa yang dituduhkan pada teman kami,
semuanya tidak ada yang terbukti.
Hari berganti hari, rasa penasaran pada gerombolan itu
berubah menjadi rasa keingintahuan, lalu berubah menjadi rasa geregetan. Halah.
Karena peristiwa itu saling merubah sikap kami terhadap si pelaku.
Mungkin perang dingin seperti ini berlangsung tiga hari,
karena kami sudah tidak tahan akhirnya kami memutuskan untuk melakukan balas
dendam. Oke bercanda, kami memutuskan untuk meluruskan permasalahan.
Suatu hari sepulang sekolah, lima orang tadi menghampiri
kelas si PK (penarik kerah). Mencari si PK, yang untungnya masih ada di situ,
dan langsung memukulinya, oke bercanda lagi. maklum lima orang ini Cuma orang-orang
yang suka haha-hihi pecinta kedamaian.
Ah gue gatau mau nyambung dikemanain ini cerita, pokoknya
intinya dia (si PK) cerita, kalo dia denger si X (korban PK) udah ngerobek
poster kampanye salah satu calon ketua OSIS yang ada di mading depan. Emang itu
poster di mading depan sekolah kami terobek. Tapi setelah ditelusuri itu poster
dirobek oleh divisi lingkungan karena tidak sesuai SOP Pemasangan di Mading. Salah
alamat dong itu marah-marahnya yang kemarin? Woiya jelas, padahal udah tau
salah kenapa ga ada usaha buat meluruskan permasalahan ini sih?
“Gue malu, soalnya kemaren gue udah bergerak gara-gara
emosi, Gue ga berpikir jernih.”
Nah! Apa kan kata gue!
Pernah denger ada yang bilang, “Apapun yang dimulai dengan
amarah, pasti akan diakhiri dengan rasa malu.” The same here, dia emosi, maen
labrak aja, terus waktu udah tau permasalahannya, baru deh dia sadar kalo dia
salah. Terus mau ngaku salah, udah kepalang malu narik-narik kerah orang pake
teriak-teriak.
Mau ngasih pesen aja, sebelum ngelakuin sesuatu mending
pastiin, lo tidak sedang dalam keadaan emosi. Salah satu syarat sah putusan
hakim dalam Islam aja ada yang nyebutin kan bahwa segala keputusan yang diambil
oleh hakim tidak boleh dilakukan ketika si hakim berada dalam keadaan emosi,
karena ketika emosi disitu setan ikut mengambil keputusan. Bum, anas ceramah.
Ada baiknya tenang sejenak, ambil napas dalam-dalam, dinginkan
pikiran. Setelah pikiran dingin baru kita verifikasi berita yang kita dapat. Setelah
dapat berita yang paling mendekati kebenaran barulah kita bertindak. Jangan lupa
to cover both side. Memandang permasalahan
dari beragam sisi. Kalo lagi ada konflik sih biasanya perlu dari kedua belah
pihak. Biar kita ga taqlid buta aja sama satu pihak. Biar bijak dan adil dalam
pengambilan keputusan. biar kita ga jadi golongan yang kerjanya meninggikan
golongannya, tetapi suka sekali merendahkan golongan yang lain. verifikasi ke
kedua pihak lebih mantap sih. Soalnya kalo dalam jurnalisme, dilarang banget
tuh cuma cover satu sisi. Jatohnya itu propaganda, bukan artikel berita.
Nah, kalo berita udah bener, kepala udah dingin, baru deh
bertindak. Bukan apa apa sih, Cuma biar ga malu di belakang aja.
Cukup saya dihibur oleh tingkah teman saya sewaktu di
sekolah menengah pertama, karena jika saya dihibur dengan hal seperti itu saat
saya sudah kuliah, sepertinya hal seperti itu sudah tidak lucu lagi.