Sore itu Kota Bandung tampak sedang
manja dengan suasana langit yang temaram. Tampak gelap, walau seharusnya belum
saatnya kegelapan itu menampakkan dirinya.
“Tapi ga segampang
itu Dy,” kataku sambil mencoba memberikan penolakan.
“Mungkin iya lo
gampang bilang gitu. Iya, soalnya lo ga ngerasain sendiri. Tapi coba deh lo ada
di posisi gue, coba lo bayangin ada di tengah-tengah ini semua. Lo ga bakal
bisa mikir kayak gitu.” Tambahku berusaha membuat pembenaran. Pembenaran akan
penolakanku atas saran yang baru saja dilontarkannya.
“Ya sih emang, Gue
ga ngerasain secara langsung. Tapi percayalah, gue udah tau kemana cerita kayak
gini bakal bermuara. Gue udah sering liat yang kayak gini.” Dia menjawab, tak
mau sarannya dimentahkan begitu saja.
“Gue udah sering
ngeliat yang kayak gini, akhirnya ga bakal baik.
You should stop and leave it.
Go
on another path of your life.
Trust
me, you will thank me in the future.” Dia menambahkan.
Aku mencari jeda dengan menyeruput minuman
hangat yang terbuat dari dark chocolate
65% di hadapanku. Mencari waktu istirahat untuk berpikir jauh, lebih jauh lagi ke depan. Jauh,
mencoba melampaui jauhnya beberapa pikiran yang pernah kulakukan.
Angkot hijau oren beberapa kali
melintas menyapu jalan, sesekali ada yang berhenti menaikkan atau menurunkan penumpang.
“Ah, memang hidup
harus sesekali berhenti. Untuk mengambil jeda, untuk menambah perbekalan dalam
menghadapi perjalanan yang makin panjang.” Besitku dalam hati.
Seperti angkutan kota yang harus
beberapa kali berhenti untuk menaikkan penumpang, seperti itulah hidup. Harus
sesekali berhenti untuk menambah bekal atau menurunkan beban, sebelum kita kembali melanjutkan
perjalanan yang ada.
Tapi, tidak seperti angkutan kota
yang jalurnya sudah pasti dan tetap, hidup tidak begitu adanya. Kita kadang
diharuskan untuk memilih beberapa jalan untuk mencapai tujuan akhir kita. Kadang pula jalan yang kita pilih mengharuskan kita mengubah tujuan akhir
perjalanan kita. Ya, itulah beda hidup dan angkutan kota.