Gerbong
Eksekutif
Sore itu,
Stasiun Bandung sedang ramai-ramainya. Riuh rendah suara penumpang yang berjejalan
di peron, liukan antrian para pembeli tiket, dan suara kereta yang menggilas
rel-rel besi menambah semaraknya suasana stasiun. Aku yang ketika itu hanya
membawa satu buah tas ransel dengan sigap melewati kerumunan itu, melompati
jalur-jalur rel,menunjukkan tiketku pada petugas pemeriksa tiket dan melaju
mulus menuju gerbong kereta yang kutuju.
Setelah
menyimpan tas ranselku pada tempatnya, kurebahkan tubuhku dikursi empuk
bernomor 12A. Beberapa saat kemudian datang seorang perempuan, mungkin berumur
30 tahunan, duduk di kursi sebelahku. Aku hanya meliriknya saat itu, tanpa ada
dorongan untuk memulai percakapan sedikitpun, bahkan untuk berbasa-basi saja
aku enggan. Kereta mulai berjalan lambat, meninggalkan keramaian stasiun.
Menembus rumah-rumah yang satu sama lain tidak terlihat batasnya. Menyusuri
jalur besi yang telah berusia ratusan tahun, meninggalkan jejak bau minyak
pelumas ke udara.
Sesekali
aku mengarahkan pandangan pada sekelilingku. Kutelisik apa yag dilakukan oleh
setiap orang. Beberapa orang asyik dengan gadgetnya. Beberapa orang mulai
tertidur, beberapa yang lain bercengkerama degan kerabat yang duduk
disebelahnya. Kesimpulan yang kutarik dari sekelebat pandangan pada sekeliling
adalah semuanya asyik dengan dirinya sendiri. Mungkin penumpang gerbong ini
para eksekutif yang sangat sibuk. Waktu
perjalanan kereta harus dimanfaatkan sebaik mungkin, entah untuk beristirahat,
mengerjakan presentasi perusahaan, atau menghubungi relasi terkait meeting esok
hari. Yang pasti mereka terlalu sibuk untuk sekedar menyapa dan bercakap-cakap
dengan orang di kursi sebelahnya. Tidak terkecuali aku.
Aku memilih
untuk tenggelam dalam kenyamanan yang ditawarkan selimut, bantal, serta kursi
yang ada. Kupejamkan mata, hanya untuk membuat alibi bahwa aku tertidur. Alibi
agar kewajibanku untuk sekedar menyapa wanita di sebelahku hilang. Dan itu
berhasil. Selama hampir sepanjang malam aku terpejam. Berusaha menjadi
individualis dengan tidak memperhatikan kondisi sekitar. Hanya aku dan duniaku.
Mungkin kenyamanan ini membiusku untuk tidak mempedulikan orang-orang di sekitarku. Mungkin keadaan seperti inilah yang membuat sebagian masyarakat kita yang telah hidup nyaman enggan untuk memperhatikan kondisi kaum papa disekitarnya. Sekedar memulai tegur sapa saja enggan. Apalagi mengulurkan tangan untuk memberi pertolongan.
(bersambung)