Pages

Ramai, demokrasinya



Ingin berbicara tentang keadaan politik Indonesia, terlebih tentang RUU Pilkada yang sedang ramai-ramainya diperbincangkan masyarakat. Sejujurnya saya merasa gembira, gembira karena sekarang partisipasi masyarakat dalam sistem demokrasi semakin terasa. Hal ini dimulai ketika masa-masa pemilihan legislatif dan presiden beberapa bulan lalu.

Dari gejala-gejala yang timbul sebelum pemilihan, saya sudah dapat menarik kesimpulan bahwa pemilihan kali ini akan berbeda. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Dan benar saja, kata ‘ramai’ saya kira cukup pas menggantikan kata berbeda yang saya perkirakan di awal. Ramai, setiap golongan masyarakat jadi ramai, ramai membicarakan tentang pemilihan. Entah karena mereka latah, ataukah mereka telah sadar. Sadar bahwa suaranya berarti bagi keberlanjutan pemerintahan di Indonesia.  Atau latah karena lingkungan yang menggiringnya ke dalam keadaan seperti itu. Pekerja kantoran, selebritis, pekerja swasta, mahasiswa, anak-anak SMA, bahkan anak-anak SMP yang belum memiliki hak suara, ramai-ramai menambah hiruk-pikuk tentang pemilihan.

Ya mereka memiliki caranya masing-masing, entah dari obrolan di sebuah warung kopi, di kelas-kelas kuliah, turun ke jalan,  di media sosial, atau melalui lembaga-lembaga tertentu. Ramai, mereka membuat pemilihan kali ini ramai.

Tapi keramaian yang mereka buat tidak melulu tentang hal-hal baik. Adapula orang-orang yang suka menebar berita-berita negatif, fitnah, caci maki, dan berbagai perilaku lain yang bertujuan menjatuhkan diri-diri tertentu. Media sosial menjadi tombak utama mereka menebar kebencian, diikuti dengan beberapa selebaran gelap yang menambah bumbu kebencian.

Pendukung pihak yang merasa diserang pun akhirnya merespon, mereka menyerang balik. Mencipatkan suatu lingkaran setan kebencian. Opini masyarakat berusaha diantarkan menuju kesimpulan-kesimpulan tertentu untuk kepentingan pribadi maupun golongan.

Hal ini ditambah dengan masyarakat yang reaktif, ramai kata saya tadi. Jadilah masyarakat turut serta meramaikan lingkaran setan kebencian ini. Merasa jika caci maki nya di dunia maya adalah salah satu bentuk partisipasi dalam demokrasi. Merasa mereka adalah aktivis yang menyuarakan suara-suara kebenaran.

Namun, ada bagian dari masyarakat yang tidak tertarik mengikuti lingkaran setan yang ada. Perlahan tapi pasti mereka terdorong ke ranah apolitis. Mungkin beberapa disebabkan karena muaknya melihat bagaimana berdemokrasi yang dipertontonkan orang-orang yang sok tahu tentang demokrasi. Mereka menarik diri, menjadi apatis. Kemudian kembali melanjutkan hidup sambil mempercayai bahwa siapapun presiden yang terpilih, hidupnya tidak akan banyak berubah.

Kembali tentang RUU Pilkada, saya kira RUU ini bisa mengembalikan apa yang dulu pernah kita rasakan. Tentang kediktatoran, tentang prinsip ABS, bahkan tentang budaya yang sampai sekarang masih tersisa.

Tentang zaman dulu, atau beberapa orang menyebutnya orde baru. Saya tidak membenci sang presiden kala itu. Bagaimana saya membencinya padahal saya baru lahir dalam lima sampai empat tahun terakhir dari kepemimpinannya. Saya tidak benci pada orang itu, tapi yang saya benci adalah apa yang ditinggalkannya pada bangsa ini. Budaya. Budaya adalah hal yang saya benci dari peninggalannya, budaya KKN lebih jelasnya.

Budaya yang hanya mungkin timbul dari kekuasaan bertahun-tahun yang membiasakannya. Dari kebiasaan yang diulang-ulang selama puluhan tahun itulah KKN menjadi suatu budaya. Hingga saat ini.

Saya benci budaya ini, tapi ketika masyarakat telah terbiasa dengannya, apa yang seharusnya menjijikan menjadi suatu yang biasa saja, normal dilakukan. Pemakluman, pemakluman atas sesuatu yang menjijikan.

Entahlah, mungkin beberapa idealis yang saat mudanya gencar berteriak tentang anti KKN, karena budaya ini pula ketika mereka telah dewasa menjadi para pelaku KKN. Entahlah, sejauh mana budaya ini akan menyeret kita. Kita bahkan tidak tahu seberapa jauh akar dari budaya ini mencengkeram dalam kehidupan bermasyarakat.

Kembali pada RUU Pilkada, sebenarnya saya hanya ingin berbagi. Berbagi tentang satu dua hal. Sebuah cerita tentang bagaimana masyarakat di suatu negeri bisa tergerak ketika sekian lama mereka ditekan oleh rezim yang semena-mena.  Gerakan yang damai, aman tenteram, namun ada beberapa gerakan dengan pertumpahan darah. Kisah tentang negeri tentangga kita, Filipina.
               

Jelaslah bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi di Filipina. Sesuatu yang sangat jarang di Asia, sesuatu yang sangat langka di Dunia.               
Sebuah negara yang dihantui ketakutan pada popor-senapan dan uang-suap, demokrasi sedang mencoba melepaskan diri dari kungkungan, rakyat menanggapi dengan penuh semangat, dan penuh harapan. Mereka mengetahui bahwa popor-senapan memang mematahkan tulang tapi tidak akan mampu melunturkan semangat para petani miskin, dan rakyat banyak yang berhimpun pada hari pemilihan umum, yang tidak mempedulikan ancaman serdadu-serdadu garang dengan senjata M-16nya, dan berjalan bermil-mil jauhnya ke kota; juga tidak mampu melunturkan semangat para biarawati muda yang duduk di kotak-kotak pemilihan suara sampai serdadu datang dan menjerembabkan mereka ke lantai; juga tidak mampu menyurutkan semangat rakyat yang kertas pemilihan suaranya dibuang ke tempat-tempat sampah yang kemudian dipungut kembali dengan menggunakan lampu senter pada   malam hari; bahkan juga tidak mampu meruntuhkan semangat para pengawal pemilu yang ditembak mati karena mempertahankan kertas-kertas pemilihan suara.             
(ditulis oleh Tom Ashbrook pada Boston Globe, Manila 10 Februari 1986)

Sedikit kutipan tentang bagaimana massa yang bergerak menentang tirani. Sebenarnya hal yang sama telah terjadi pada negeri ini, setelah kurang lebih 10 tahun dari rentang tulisan itu dimuat, negeri ini bergejolak. Gejolak tentang bagaimana masyarakat bersatu padu menurunkan pemerintahan yang telah berlangung selama puluhan tahun. Menuntut reformasi, menuntut diadakannya pemilu yang adil.
Peristiwa tersebut mengantarkan pada apa yang namanya pemilu yang ‘luberjurdil’. Langsung, umum, bersih, jujur, dan adil. Masyarakat mendapat hak untuk memilih sendiri wakil-wakil rakyatnya. Memilih sendiri para wakil dari mulut-mulut mereka di parlemen. Memilih sendiri siapa yang akan menjadi kepala pemerintahan mereka.

Walau, sebenarnya sampai sekarang pun kadang massa hanya memilih kucing dalam karung, tapi dasar-dasar pemilihan yang langsung inilah yang bisa menjadi pembelajaran untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi. Jika pada keberjalanannya masyarakat menjadi ‘ramai’, seperti yang saya jelaskan di awal, hal itu adalah hal yang lumrah, hal yang wajar dari masyarakat yang baru tiga kali belajar tentang demokrasi. Jangan karena dari tiga kali pemilihan yang berlangsung, lalu hasilnya kurang memuaskan dan anda para pengambil keputusan merasa pemilihan langsung tidaklah tepat diterapkan di Indonesia.

 Jika anda beralasan karena biaya yang dikeluarkan mahal, harusnya anda mencari solusi tentang bagaimana biaya itu bisa ditekan, seperti: gunakan metode e-voting atau minimalisasi penggunaan barang sekali pakai atau solusi-solusi yang lain. Bukan dengan cara anda menghapus pemilihan langsung pada kepala pemerintah dan mewakilkannya pada dewan perwakilan rakyat. Meski, dewan perwakilan rakyat yang berhasil duduk di parlemen konon adalah pilihan rakyat, tetap saja ketika sudah bertugas mereka lebih memilih mengabdi pada partai.

Bagaimana ketika partai A mengatakan menolak UU, semua anggota fraksinya juga menolak. Seolah akhirnya yang bermain disana adalah instruksi dari segelintir pimpinan partai-partai yang ada, bukan suara rakyat yang sudah seharusnya mereka bela. 


Lalu, apa?

TOLAK RUU PILKADA!

Walaupun saya yakin , pemilihan langsung yang dilakukan oleh rakyat bukan berarti kedaulatan ada di tangan rakyat.
Tapi saya berkeyakinan bahwa dengan pemilihan secara langsung,
perlahan tapi pasti,
rakyat diberikan edukasi tentang kedaulatan yang ada di tangannya,
dilatih bagaimana menggunakannya,
dan berlatih bagaimana bertanggung jawab atasnya.



xxxxxxxxxxxxxxxxx


Tulisan ini bukanlah bagian dari proyek 365++ yang sedang saya lakukan. Hanya sedikit pemikiran dangkal terhadap fenomena yang sedang ramai di negara ini. Sebenarnya tidak ada untungnya bagi anda untuk membaca, karena saya tahu, tulisan ini sama sekali tidak mengibur. Apalagi membawa anda tertawa terbahak-bahak.
Beberapa logika yang saya gunakan mungkin bisa dibantah dengan mudah, yah, mau bagaimana lagi, saya bukanlah
seorang ahli di bidang ini.