Pages

#105: suatu sore di suatu kedai (2)











Dia berjalan ke arahku, tas ransel yang selalu menempel di punggungnya itu pun ikut serta.


“Mas, mau yang biasa ya,” ucapnya kepada si barista.

“Oke, siap,” jawab orang yang diminta. Sejurus kemudian si barista mulai sibuk meracik minuman.



“Udah lama di sini?” tanyanya.

“Baru bentar kok, masih bisa nunggu sejam lagi Gue di sini,”

“Yee.. ngambek. Lagian Elo mendadak banget ngabarinnya, kan gue udah ada janji duluan.”



Ya begitulah tingkah orang kekinian. Mau ngapa-ngapain harus bikin janji dulu. Jadwalnya tiap hari padet, full gatau deh isinya apaan. Makin mirip sama birokrat aja. Kalau mau ngajakin apa-apa mendadak, kemungkinan besar bakal jadi wacana doang. Padahal kan, ide-ide seru biasanya muncul spontan, tiba-tiba, tidak dapat diprediksi.


“Ini Mbak pesenannya,” si barista mengangsurkan minuman coklat dingin ke hadapan kami berdua.


Ah , coklat dingin dengan whipped cream di atasnya. Lagi-lagi minuman itu. Mungkin dia tidak memiliki daftar menu lain yang ada di kepalanya. Coklat dingin, coklat dingin, coklat dingin. Selalu itu, aku sampai bosan.

Tangannya menjulur, meraih gelas berisi coklat dingin itu.


“Besok, Gue mau pergi,” ujarku tiba-tiba.


Dia yang awalnya mau menyeruput gelas minumnya menjadi urung. Mengalihkan pandangan dari gelas minuman ke arahku.


“Pergi?” tanyanya.


“Yoih, pergi ke kampus, hahaha.” Jawabku.
Mencoba mengurangi kekakuan yang tiba-tiba menyergap kami berdua.


“Yee.. dasar,” ia melanjutkan meminum coklatnya yang tadi sempat terhenti sejenak.



Terlalu tiba-tiba memang.

Selalu sulit untuk menyampaikan kabar tentang perpisahan. 

Pun aku saat ini. 

Bagaimana cara kita bisa memberitahu seseorang bahwa hari itu adalah hari terakhir kita bertemu. 

Bagaimana cara agar kabar tentang perpisahan tidak selalu menjadi suatu cerita sedih yang diselubungi haru. 

Toh keadaannya pasti begitu. Tak jarang diakhiri dengan tetes air mata.

Aku pun benci dengan perpisahan.

Semua garis cerita yang ada tiba-tiba harus terputus tanpa tau kapan akan kembali bersambung.

Seolah memberi jeda dalam rangkaian cerita yang sedang kita jalani.  










-------------------------------
Maaf lahir batin ya kalo ceritanya pendek. Maklum lagi lebaran.


Aduh maafkan, akhirnya cerita fiksi ini jadi kayak cerita cerita fiksi lain yang gue coba tulis, terbengkalai.
Gapunya ide ceritanya mau dikemanain. Jadi tau susahnya orang yang disuruh nulis cerpen buat majalah. Maafkan saya ya anak anak yang suka saya kejar kejar tulisannya.