Pages

ayah yang bercerita











Kalau ditanya tentang tempat favorit mungkin beberapa orang akan menyebut tempat-tempat berpemandangan indah laiknya gunung atau pantai. Beberapa mungkin akan menyebut tempat-tempat hits untuk nongkrong bareng teman-teman. Tapi aku rasanya memiliki jawaban yang sedikit berbeda, tempat favoritku adalah di kursi depan mobil keluarga kami, di sebelah sopir, di sebelah Ayah lebih tepatnya.

Aku paling suka kalau kami berkendara berdua saja, entah itu dalam perjalanan menjemput adikku dari sekolah berasramanya, atau sedang dalam perjalanan setelah mengantar ibu ke rumah nenek. Ketika kami hanya berdua, di sana biasanya sebagian besar pelajaran tentang hidup kudapat.

Ya, Ayah memang orangnya suka bercerita. Banyak sekali ceritanya, dari yang sudah kudengar berulangkali, atau cerita baru yang kadang membuatku terkejut. Dimana saja ia suka bercerita. Di meja makan, di depan tv, atau di ruang tamu. Kapanpun bisa jadi waktu yang tepat untuknya bercerita, sembari membaca koran, sembari mengatur beberapa dokumen kantor, atau sembari memasang lampu rumah yang mati.

Tapi yang paling kusuka adalah ketika Ayah bercerita ketika kami berdua di mobil, ya hanya berdua. Obrolan kami kadang serius, kadang juga penuh hal remeh temeh yang tidak penting untuk dibahas. Tapi yang pasti, obrolan ketika kami hanya berdua terasa lebih merasuk ke dalam jiwa. Entah, banyak sekali pelajaran yang tanpa sadar mengalir masuk. Dia bercerita tentang hobinya mengumpulkan perangko yang dikirimkan kakek dari tempat ia singgah dalam perjalanannya, cerita tentang bagaimana ia bertemu Ibu dulu, cerita tentang masa kecil kakakku, dan beberapa cerita-cerita lainnya yang kadang membuatku mengakhirinya dengan sedikit berpikir.  

Akhir-akhir ini, ketika aku sudah memasuki tingkat akhir dari kuliah pun kami tak lepas dari rutinitas bercerita ketika kami berkendara berdua. Tapi yang berbeda mungkin akhir-akhir ini cerita Ayah semakin serius. Entah, mungkin karena aku akan memasuki fase baru dalam hidupku. Seperti halnya ketika aku bertanya pada Ayah,

“Yah, adek udah besar belum?”
Ayah terlihat berpikir sejenak,
”Hmm.. Kalo kamu sudah bisa membedakan mana yang baik sama mana yang jelek berarti kamu sudah besar,” ujarnya.
“Sepertinya belum,” kujawab
“Udah kayaknya. Yak mulai besok kamu ga dapet kiriman uang lagi. Sudah besar, sudah bisa cari uang sendiri,” ujarnya mengejek.
“Ih enak aja..” jawabku sewot.

Tentu saja setelah itu Ayah memulai bagian spesialisasinya, bercerita tentang apapun yang berhubungan dengan pertanyaan yang kuajukan. Kadang dengan tambahan improvisasi tentang makna hidup, tujuan hidup, dan untuk siapa kita hidup. Yang pun sudah ku hafal di luar kepala.

Yang membuat cerita Ayah menarik adalah semua yang ia ceritakan adalah hal yang nyata.

Ya, nyata karena semua berasal dari kehidupan yang telah dia jalani.

Bahkan untuk semua masalahku dia punya bagian dari hidupnya yang pernah mengalaminya.

Seolah kehidupan Ayah adalah cetak biru dari kehidupanku, tentu dengan beberapa gubahan di sana-sini.


=================


Aku selalu menyukainya ketika cerita Ayah memasuki fase kesimpulan, fase dimana dia akan menyampaikan saran atau pendapatnya tentang pertanyaanku. Dia biasanya akan menyampaikan beberapa saran berdasarkan pengalaman hidupnya. Atau dari hasil analisa yang kami lakukan berdua. Tapi yang membuatku semakin mengagumi Ayah adalah pada babak kesimpulan ini Ayah selalu memberiku ruang untuk membuat kesimpulan sendiri. Persis seperti penulis yang memberikan beberapa pandangan lalu memberikan keputusan pandangan akhir pada si pembacanya, demikianlah Ayah. Ia memberikanku kesempatan untuk membuat kesimpulanku sendiri. Sebuah kotak pilihan yang mungkin sangat jarang diberikan oleh beberapa orang tua pada anaknya. Kebanyakan orang tua mungkin suka memaksakan kehendak pada anaknya. Ya, Ayahku tidak begitu.

Alih-alih memaksakan kehendak pada anak-anaknya, Ayah akan lebih memilih mendiskusikannya lalu bersama mencoba menarik kesimpulan yang terbaik.

Ayah selalu memberi ruang kami untuk memilih.

Ruang yang boleh kami masuki ketika kami sudah memiliki cukup pengetahuan dalam menentukan pilihan-pilihan itu.

Mengajarkan kami untuk bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang akan atau telah kami pilih.

Membuat kami menjadi pribadi yang dewasa sejak dalam keluarga.