Pages

Hubungan gelap pengusaha dan penguasa





Akhir-akhir menyeruak isu tentang permainan gelap antara pengusaha dan penguasa. Ya, kasus penyuapan anggota DPRD salah satu kota oleh pengusaha yang memiliki kepentingan pengelolaan lahan di daerah tersebut. Disebut-sebut sang pengusaha memberikan sejumlah uang pada anggota legislatif itu untuk menurunkan besaran kewajiban menyerahkan sejumlah lahan kepada pemerintah provinsi kota itu.

Mungkin bukan sekali dua kali kita mendengar berita semacam ini, kita sering mendengar berita tentang pengusaha A yang menyuap pejabat pemerintah X agar mendapat kemudahan dalam melakukan impor suatu barang, atau pengusaha  X membayar sejumlah uang pada pejabat Y agar perusahaannya dijadikan pemenang tender suatu proyek. Dan beragam contoh-contoh lain yang menggambarkan mesranya hubungan antara pengusaha dan penguasa.

Apakah sebenarnya praktik suap-menyuap, sogok-meyogok, uang pelicin dan semacamnya sudah menjadi budaya di dunia usaha di negara ini? Jawabannya bisa jadi. Saya tidak menampik bahwa di negara ini masih banyak pengusaha yang menjalankan usahanya dengan bersih, begitu pun dengan pejabat, tentu masih ada yang peduli pada kemajuan bangsa ini. Tapi beberapa bukti seperti di atas mau tidak mau menjadi bukti tentang adanya hubungan gelap antara pengusaha dan penguasa di negara ini.

Saya mencoba untuk mencari tahu alasan timbulnya hubungan ini, yang kemudian mengantarkan pada sebuah tulisan pada harian KOMPAS, 22 November 1979. Ya, kurang lebih 27 tahun yang lalu.
Tulisan tersebut  berbunyi,

“Untuk berusaha di Indonesia, hubungan dekat dengan pemerintah adalah aset yang menjulang di atas modal finansial, skill, maupun pasar. Sebab apa? Sebab hampir 80% pembeli barang, jasa, industri maupun perdagangan adalah pemerintah secara langsung maupun tidak langsung.”  -Soegeng Sarjadi

Ketika itu Soegeng Sarjadi memaparkan bahwa penyebab adanya hubungan gelap antara pengusaha dan penguasa ini diakibatkan karena pemerintah merupakan pembeli barang dan jasa yang terbesar, atau dengan kata lain pemerintah adalah konsumen utama mereka. Mungkin saat ini prosentase ini sudah berubah, bisa saja menjadi lebih kecil, atau pun lebih besar. Namun yang pasti, alasan para pengusaha tetap menjalin hubungan gelap dengan para penguasa pun ikut bertambah. Proses perizinan yang dipersulit, jual-beli proyek, atau mempermainkan aturan merupakan beberapa contohnya.


Untuk saat ini praktik budaya ini turut berkembang seiring berkembangnya zaman. Beberapa oknum pejabat mulai jemput bola dalam melakukan hubungan terlarang dengan para pengusaha. Segala mekanisme yang memerlukan persetujuannya dijadikan lahan untuk menarik rupiah. Benar adanya adagium yang  berbunyi “Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?” mereka mulai aktif memainkan wewenangnya dalam rangka meraih keuntungan finansial sebesar-besarnya. Para pengusaha pun mau tak mau akan terbawa dalam permainan ini, baik yang memang dari awal sudah kotor maupun yang mau tak mau jadi kotor demi kelanjutan usahanya. Hubungan gelap antara para penguasa dan pengusaha ini pun pada akhirnya akan membentuk golongan baru dalam masyarakat berupa Bureaucratic business society. 

Suatu golongan masyarakat ekonomi yang menjalankan bisnisnya dengan memanfaatkan koneksi-koneksi pada sistem birokrasi yang ada. 

Serba salah memang.