Pages

sebuah kisah, untukmu. kalau kau mengingatnya.


“Aaar, Ariaa tungguu!”
Kudengar suara itu memanggil namaku, ketika kutolehkan wajahku, benar saja dia sedang berlari kecil menghampiriku.

“Tungguin dong, buru-buru amat pulangnya,”  protesnya ketika langkah kami telah berjalan beriringan.

“Haha iya maaf-maaf. Lagi laper nih Er,” jawabku sekenanya. Tapi benar perutku sedang lapar saat itu.

“Yaudah deh, balik yuk,” ajaknya.

“Berangkaatt..” sahutku dengan semangat.


Siang itu seperti biasa, kami pulang bersama setelah seharian berkutat di tempat yang namanya sekolah. Oh, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Aria, seorang bocah ingusan yang sedang mengenyam pendidikan untuk menggapai cita-cita yang bahkan aku tidak tahu apa cita-citaku. Teman yang saat ini sedang berjalan disebelahku adalah ,sementara panggil saja dia Er, seorang sahabat (setidaknya sebelum kejadian itu datang) tempat aku membuang keluh kesahku dan dia akan mendaurnya menjadi sebuah senyum diakhir cerita.


“Banyak banget sih PR nya, bosen deh,” dia mengeluh tentang banyaknya pekerjaan rumah yang diberikan dari sekolah tadi. Aku tersenyum sambil memandang wajahnya yang mulai cemberut. Rambut ekor kudanya melompat-lompat seiring langkahnya disampingku.

“Yaudah gausah dikerjain kalo males,” jawabku ketika dia melihat kearahku. Buru-buru kualihkan pandanganku lurus kedepan agar dia tidak sadar aku sedang melihatnya sedari tadi.

“Enak aja, Emang kamu yang males. Aku sih mau ngerjain. Week!!”  dia menyahut sambil membuat mimik mengejek ke arahku.


Er memang anak yang rajin, aku tahu itu karena sering meminjam catatannya ketika masa-masa ujian datang. Macem buku paket yang ditulis ulang pake bahasa dia, dengan tambahan gambar-gambar aneh di tiap sudut buku catatannya. Dulu dia pernah bercerita kepadaku perihal  mahluk-mahluk asing yang kerap muncul di buku catatannya itu. Menurutnya, mereka adalah teman-temannya yang setia menemani dikala dia sedang bosan belajar atau suntuk mencatat. Semacam mood booster baginya.


                “Kok ga ada muka Aku sih Er, kan Aku temen yang selalu memberi semangat buat kamu,” aku iseng bertanya padanya ketika sedang mengerjakan tugas di rumahnya.

                “Ada kok kamu Ar, disini tapi,” katanya sambil menunjuk kertas tisu bekas ia mengusap wajahnya.

                Kemudian kami tertawa bersama.  Begitulah dia, suka memberi bumbu tawa pada setiap pertemuan kita.


Langkah kami yang tidak terasa telah mengantar kami pada gerbang komplek perumahan kami. Ya, aku dan Er memang tinggal di komplek perumahan yang sama. Rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku. Mungkin itu yang membuat kami dekat, bahkan mungkin dia sudah seperti keluargaku sendiri. Tiap berkunjung kerumahnya, Aku langsung saja nylonong masuk. Seolah masuk ke rumahku sendiri. Begitu pun sebaliknya.

---- Er, bagian satu ----



bagian dua,

Prolog: Bentuk kedekatan kami mungkin berbeda-beda tergantung persepsi orang. Teman-teman sekelasku menganggap kami sedang berpacaran, ada yang menganggap kami berdua adalah sahabat yang benar-benar dekat, beberapa yang lain menganggap kami adalah teman masa kecil yang tidak bisa move on. Ya itu terserah mereka masing-masing. Tidak masalah buatku, setidaknya sampai saat itu.
               
Kebersamaan kami diisi dengan hal-hal yang sepele, tidak serius, dan penuh canda tawa. Mungkin sesekali sedikit air mata. Itu pun sesekali. Tema-tema pembicaraan kami berkutat pada: banyaknya PR di sekolah, acara tv malam nanti, lagu-lagu yang lagi ngehits saat itu, kenapa kucing berkaki empat, mana yang lebih dulu antara ayam dan telur, dan lain-lain. Jarang sekali kami membahas tema-tema berat dalam obrolan kami. Saat salah satu dari kami membawa tema berat, yang lain pasti akan membuatnya menjadi bahan candaan dan membelokkan pembicaraan kembali ke hal-hal yang tidak penting lagi. Seolah menjaga agar hidup kami tidak serius.

“Toh yang serius-serius bikin cepet tua,” kataku setelah menjadikan pertanyaannya tentang cita-cita kubelokkan jadi pembicaraan tentang banyaknya lagu-lagu melayu yang memenuhi playlist radio-radio saat ini.

Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh pula. Mungkin akan sama artinya dengan, sepandai-pandai membelokkan pembicaraan, pasti akan kelu dan tak bisa lagi membelokkan pembicaraan. Hal itu kualami, tepatnya kami alami, saat itu.

“Ar, kita ini lagi ngapain sih?” Er bertanya padaku yang sedang asyik menyuapkan potongan chitato ke mulutku.

“Lagi ngapain? Lagi makan Chitato lah,” jawabku asal seperti biasa.

“Ih seriuus,”   pundaknya mendorong pundakku. Aku yang hampir terjatuh membenarkan kembali posisi dudukku.

“Terus kalo bukan lagi makan lagi ngapain,” tanyaku berusaha memperjelas arah pertaanyaannya.

“Kita, hubungan kita,” ucapnya sambil memandang lurus ke depan sembari membenarkan letak kacamatanya.

Melihat wajahnya Aku tahu dia serius. Entahlah Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku diam beberapa saat, hening. Dia sepertinya masih menunggu jawaban yang keluar dari mulutku.

“Kita udah lama Ar kayak gini. Sejak kita masih kecil. Sampai sekarang.” Dia berkata sepotong-potong. Seolah memberi tekanan pada setiap kata yang diucapkannya.

“Iya, kita udah lama,” jawabku yang mulai berani mengeluarkan suara.

“Tapi Aku ga tahu hubungan yang kamu maksud seperti apa,” aku melanjutkan.

“Entahlah, mungkin Aku yang terlalu berharap lebih. Mungkin kamu yang gak ngeh sama Aku. Tapi kita udah gede Ar. We can’t stay and fooling around anymore,” dia berucap tanpa sekalipun melihat kearahku.

Mungkin aku tidak pernah sadar, mungkin Aku tidak pernah tahu. Bahwa seorang wanita membutuhkan kepastian dari setiap hubungan. Seolah laki-laki dan perempuan tidak pernah ditakdirkan bersama tanpa adanya perasaan yang terlibat didalamnya. Adalah suatu kesalahan mengira kebersamaan ini akan bertahan untuk selamanya.

“So, should we go dating?” aku bertanya.

“Should we?” Er balas bertanya.

“jawabannya ada dalam diri kamu Ar, should we or not, yes or not, that’s depend on your heart. “ Er menambahi perkataannya.

Sebenarnya di dalam hati ada perasaan ingin menjadikan Er sebagai pacar, itulah yang disebut anak muda jaman sekarang. Tapi Aku tak kuasa untuk melakukan itu. Yang kubayangkan, ketika kami berpacaran , akan ada perasaan lain yang ada. Kami harus pergi berkencan tiap malam minggu, bermesraan tidak peduli dimana pun itu dan hal-hal lain yang tidak bisa kubayangkan kulakukan dengan Er.

“Entah Er, aku gak bisa kalo kita harus pacaran,” jawabku ketika itu. “Pacaran itu salah, Setidaknya salah menurutku,” melanjutkan.

“...................” hening.
Er tidak menjawab. Aku diam, dia diam. Hening.
.
.
.
.
Setelah beberapa helaan napas Er kembali bersuara.

“Oke, kita mungkin cuma bisa sebatas teman Ar. Teman, tidak lebih.”

Saat itu aku tau Er merasa kecewa. Ada rasa kecewa dalam suaranya. Yah, aku tahu kapan dia senang, kapan dia sedih, kapan dia takut, kapan dia kecewa hanya dari suaranya. Hanya dari suara.
Aku tidak bisa mengiyakan namun tidak mampu untuk menolak. Aku tidak ingin semua berakhir sebatas teman, tetapi tidak ingin hubungan kami berubah menjadi hubungan orang yang sedang berpacaran.


“iya, kita mungkin hanya bisa berteman.” Jawaban itu yang keluar dari mulutku. Aku pun tidak tahu apa yang sedang kuucapkan. Rasa takutku mengalahkan hatiku.

“iya...” Er menjawab lirih.

Setelah itu hubungan kami merenggang. Menjauh, layaknya kami tidak pernah kenal sebelumnya. Aku harus melanjutkan studiku ke suatu sekolah antah-berantah di daerah dekat ibukota. Suatu sekolah dengan sistem boarding school. Sedikit banyak hal ini memperparah renggangnya hubungan kami. Hanya sesekali kami bertegur sapa. Itu pun lewat sarana media sosial.

Pada akhirnya aku percaya, tidak ada hubungan antara pria dan wanita tanpa melibatkan perasaan di dalamnya.


Epilog:      

Aku sekarang sedang berkuliah di salah satu kampus negeri di kota kembang. Masuk ke jurusan yang bahkan aku tidak tahu jurusan apa ini setelah aku berkuliah selama dua tahun. Memiliki kesibukan laiknya mahasiswa yang sedang semangat-semangatnya membawa perubahan untuk negeri.
Er, bagaimana dengan Er? Ya dia sekarang sedang menempuh studi sebagai seorang calon dokter, di sebuah universitas di sebuah kota besar di Pulau Jawa. Kemarin kami bertemu, dia semakin cantik, layaknya calon dokter kebanyakan. Dia telah bertunangan dengan salah seorang teman kami. Teman sekelasku dan dia.


Inilah hidup, mudah sekali dibolak-balikkan.




Untukmu Er, jika kau masih mengingatnya.