“Saya agak kurang enak buat ambil foto muka tersangka dugaan korupsi. Ya meskipun ujung-ujungnya saya ambil karena tugas, tapi dalam batin saya ada rasa yang ga enak. Saya tiba-tiba mikir anak istri mereka.” Prima, Fotografer salah satu media massa nasional.
Hari ini
unit saya mengadakan pelatihan perihal bagaimana sikap profesional seorang
jurnalis. Kebetulan yang diundang adalah saudara Prima ini. Beliau adalah salah
seorang fotografer dari salah satu majalah nasional Indonesia. Majalah yang
dikenal karena ulasan yang kritis dan kadang membawa fakta-fakta yang cukup
mencengangkan.
Seorang fotografer, atau beliau menyebutnya jurnalis
gambar, harus memiliki passion yang kuat dalam melakukan pekerjaannya. Mengapa demikian?
Karena pada pelaksanaannya seorang jurnalis gambar diharuskan menghasilkan
gambar-gambar dari suaru peristiwa yang terjadi. Mau tidak mau seorang jurnalis
gambar harus datang ke tempat dimana peristiwa itu terjadi. Hal ini berbeda
dengan apa yang dilakukan reporter, seorang reporter dapat memperoleh berita
tanpa harus terjun langsung ke lokasi dimana peristiwa itu terjadi. Misalnya cukup
mengontak orang-orang yang berwenang atau mewawancarai narasumber melalui
sambungan telepon.
Karena tuntutan pekerjaannya itu, beliau seringkali harus menempuh medan yang cukup berat demi mendapatkan sebuah foto yang bagus, yang merepresentasikan kejadian yang sedang terjadi. Banjir, sungai penuh limbah beracun, debu vulkanik dari gunung yang mau meletus, hewan liar nan berbisa, medan yang susah dijangkau, adalah beberapa tantangan yang kerap ditemukan oleh seorang jurnalis gambar.
“Jurnalis gambar itu kalo masih baru masuk pasti kena typus.”
Beliau bercerita tentang bagaimana kondisinya saat masih baru menjadi seorang jurnalis foto. Sebagai seorang yang baru, acapkali dia diberikan tugas-tugas yang mengharuskan mobilitas yang tinggi.
“Abis
liputan ke daerah perbatasan Bandung-Cianjur, Saya langsung disuruh ngeliput ke
mana. Abis itu pulang tiba-tiba ada kejadian apa gitu, saya lagi yang disuruh
ngeliput. Kadang bisa sampe seratus kilo itu jarak dalam sehari.”
Begitu penuturannya.
Kenapa beliau masih mau menggeluti kerjaan sebagai seorang jurnalis gambar
apabila tantangan yang dihadapi begitu berat?
Beberapa orang
mungkin mengira dia bertahan karena gaji yang ditawarkan atau
fasilitas-fasilitas yang didapatkan. Tapi ternyata bukan itu yang membuat dia
bertahan kawan, adalah PASSION yang menurutnya memiliki andil cukup besar dalam
memberinya kekuatan untuk bertahan sebagai seorang jurnalis gambar.
“kalo saya ga punya passion, mungkin saya lebih milih jadi divisi humas yang kerjanya foto-foto event gitu.”
Bekerja sebagai
seorang jurnalis gambar membawa dia pada beragam petualangan yang kadang harus
membuat nyawa sebagai pertaruhan. Menembus cucuran limbah di Sungai Citarum,
yang konon katanya kalau terkena kulit akan mengakibatkan gatal-gatal hingga
satu bulan lamanya, adalah salah satu contoh dari tantangan yang pernah
dihadapi. Membawanya pada fakta-fakta bahwa ada, bahkan banyak, pabrik-pabrik
terutama tekstil yang membuang limbah sisa produksinya langsung ke sungai. Pabrikan-pabrikan
multinasional yang mengekspor brand-brand nya sampai keluar negeri ternyata
melakukan perncemaran di tanah kita. Bukti penguat bahwa kapitalisasi industri
selalu meminta tumbal lingkungan di sekitarnya. Bukt bahwa pelaku industri
masih memilih keuntungan sebesar-besarnya sebagai tujuan dari usahanya. Melupakan
tentang alam yang menyokong kehidupannya selama ini, menganggap alam hanya
sebagai komoditas.
Dia juga bercerita tentang etika seorang jurnalis yang sama sekali dilupakan oleh orang-orang yang menyebut dirinya “citizen journalis” dengan “citizen journalism”nya. Mereka melupakan hal-hal yang bersifat ‘manusiawi’ dalam melakukan proses jurnalisme mereka. Seolah hanya mementingkan hasil dan mereka tekenal, bertindak layaknya reporter profesional, tapi tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan etika seorang jurnalis.
“orang korban kecelakaan berdarah-darah gitu terus mereka foto, upload, share.”
xxxxxxxxxxxxxxxx
Tentang mengambil
gambar seorang koruptor? Dia juga kadang mengalami kegalauan batin. Di satu
sisi tugasnya sebagai seorang jurnalis gambar mengharuskannya mengambil foto
sang koruptor. Tapi di pihak lain dia sering memikirkan bagaimana perasaan
keluarga dari si koruptor. Bagaimana perasaan anak-anak sang koruptor apabila
melihat wajah sang ayah terpampang besar di sebuah koran nasional dengan
sebutan seorang ‘Koruptor’.
Mungkin ini
memang karma yang diberikan pada si koruptor, tapi cobalah kawan, merenungkan dari
sisi kemanusiaan. Dia bersalah tapi dia bersalah di hadapan hukum, bukan
dihadapan norma kemanusiaan. Dia bersalah tapi tidak dengan anak-anaknya.,
tidak dengan keluarganya.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Bukan, saya bukan seorang yang mendukung korupsi. Tidak ,saya bahkan berharap korupsi dapat hilang dari muka bumi ini. Tapi saya tidak mengaharapkan hilangnya korupsi berjalan seiring dengan hilangnya rasa kemanusiaan kita.
Hukuman mati bagi koruptor? Bahkan saya tidak mampu membayangkannya.
Koruptor adalah orang-orang yang terbuai dimabukkan hasratnya dalam memperkaya diri. Dia bisa menjadi koruptor karena hasrat, yang sebenarnya dimiliki setiap manusia, bertemu dengan jabatan , kekuasaan dan kesempatan.
Saya sering berpikir, orang-orang yang berteriak
lantang tentang antikorupsi, jika suatu saat dia berada di posisi yang sama
dengan sang koruptor, memiliki kekuasaan dan kesempatan, apakah dia akan tetap
menjaga idealisme yang diagung-agungkannya itu?
Karena tidak
sedikit yang saya tahu, koruptor sekarang adalah seorang antikoruptor di masa
lalu.
Mungkin bibit-bibit
seorang koruptor ada pada diri kita semua, hanya saja bibit itu tidak tumbuh
karena tidak bersambut dengan kesempatan dan kekuasaan. Koruptor-koruptor yang ada
hanyalah bibit-bibit yang berhasil bertemu dengan kesempatan dan kekuasaan. Kita
hanya belum waktunya untuk tumbuh, atau bahkan tidak pernah.
Xxxxxxxxxxxxxxxx
Sebenarnya masih panjang cerita tentang seorang jurnalis gambar yang satu ini. Mungkin akan saya lanjutkan di lain waktu atau mungkin juga tidak.
karena
cerita yang gamblang dan menarik akan diperoleh ketika kita mendengarnya secara
langsung dari sang tokoh utama, bukan tokoh ketiga tahu segalanya.